Yakinlah semua, bahwa setiap alur hidup kita itu memang Tuhan yang mengatur dan di setiap peristiwa yang kita lewati disanalah Tuhan akan menunjukkan rencana Indahnya -Nurhayatii Zaiinal-
Terik matahari yang panas mulai membakar ubun-ubunku. Ini adalah saat dimana orang-orang mulai melaksanakan kegiatan rutinnya untuk makan siang, tapi tidak bagiku dan kakakku. Ini adalah waktu kami untuk terus mencari uang, uang dan uang. Biasanya kami melakukan aktifitas yang tak seharusnya anak-anak seumuran kami lakukan yaitu mengemis harta dari orang-orang kaya yag terkadang sering mengacuhkan kami.
"Kak, aku lapar kak". Ucapku meringis.
"Sabar ya dek ntar lagi kalau kakak ada uang lebih, kakak beliin kamu nasi Padang deh".
Wajahku mencerah "Beneran ya kak, asik kakak baik deh".
Aku terus bekerja, dengan bermodalkan plastik bekas air mineral aku bernyanyi riang sambil berharap kasih iba orang-orang kaya itu. Aku memperhatikan jumlah uang yang telah aku kumpulkan ternyata masih berjumlah dua buah uang ribuan. Mana cukup uang seperti ini untuk membeli nasi bungkus, apalagi uang kakak yang pasti tidak akan mampu membeli nasi yang rasanya tidak tertandingi itu, ucapku kesal dalam hati.
Aku kembali menghampiri kakak, sudah sejam aku bersuara merdu di atas aspal ini, saatnya aku beristirahat.
"Kak, udah berapa uang yang terkumpul kak?". Aku mengintip isi plastik bekas kakak yang sama persis sepertiku.
"Baru 5 ribu dek". Ucapnya murung.
"Ternyata Tuhan ngak adil ya kak".
"Ngak adil gimana? Tuhan itu maha adil adekku sayang".
"Bohong kak, buktinya kalau Tuhan itu adil, pasti hidup kita tidak akan semelarat ini, kita pasti hidup nyaman kak".
"Lah, Tuhan itu pasti punya rencana yang indah buat kita, yakinlah".
"Ogah ah, ngak mau kakak aja sonoh yang yakin".
"Ya sudah kalau kamu ngak mau percaya, tapi jangan nyesal ya".
Aku menggangguk lesu. Kakak melanjutkan pekerjaanya menyanyi sambil bermain gitar, sedangkan aku kini hanya duduk termenung karena kelelahan.
Dari kejauhan aku melihat seseorang membukakan kacanya untuk kakak, kakak menerima satu lembar uang. Ahh paling itu cuma uang seribu, orang kaya mahh pelitnya minta ampun, ucapku lagi dalam hati.
Tampak kakak tengah berlari mendekatiku.
"Dek, liat kakak bawa apa?". Wajahnya sumringah.
"Paling uang seribu doang ya kan kak?"
"Ngak". Kakak mengeluarkan uang yang ada disakunya "Nih uang 100 ribu".
"Wah kakak hebat". Aku mendecak kagum.
"Nah Tuhan itu adil kan, ayo sekarang minta maaf".
"Kakak maafin aku ya?"
"Waduh bukan sama kakak, tapi sama Tuhan".
"Ya deh kak".
Aku berdoa, tampak kakak sedang memperhatikan gerak komat-kamit bibir kecilku memohon maaf kepada Tuhan. Setelah berdoa aku langsung berangkat menuju restoran Padang yang sangat terkenal kelezatannya, aku makan dengan lahap dengan kakak. Wajak kami tampak seperti dulu saat kami masih berkecukupan.
Dulu aku dan kakakku hidup dalam serba kecukupan, tapi semua itu menghilang saat Papa, Mama dan kami berdua mengalami kecelakaan. Kedua orangtua kami meninggal dan hanya kami yang mendapat takdir untuk terus hidup. Semua aset keluarga ditikam habis oleh pamanku yang mempunyai sifat rakus harta, kami hanya pasrah menerima. Bagiku yang masih berumur 10 tahun terlalu sulit, tapi bagi kakakku, Revan yang mempunyai usia yang berbeda jauh 4 tahun dariku, dia hanya terlihat tidak begitu sulit menerima semua keadaan ini. Toh, dia percaya bahwa suatu saat tangan para malaikat akan menuntunnya ke arah yang bahagia.
Selesai sudah aku melahap sepiring nasi yang aku inginkan, hari sudah terlihat mulai gelap, aku dan kakakku kembali ke bawah kolong jembatan, tempat aku diperkerjakan dengan penuh paksa, beberapa saat lagi aku dan kakakku akan menyerahkan uang setoran kepada Si Boss yang terkenal cukup galak dan gila harta. Dia hanaya mengambil anak terlantar lalu mengiming-imingi dengan mainan setelah anak-anak tersebut mendapatkan apa yang mereka mau, manusia keji itu membudaki mereka dengan mengemis iba kepada orang-orang kaya diluar sana. Sungguh tidak punya hati, ini bukan perbuatan manusia, tapi bisa disebut perbuatan hewan, sungguh hina.
Malam ini, aku tidur nyenyak dengan harapan besok aku akan mendapatkan uang lebih yang bisa aku tabungkan. Uang tabungan ini aku tujukan agar aku bisa keluar dari pembudakan ini dan aku bisa melajutkan sekolahku lagi. Sudah dua tahun aku berhenti sekolah, betapa mirisnya hidupku ini.
Aku kembali bekerja, hari ini aku bersama kakakku mengamen riang, aku ingin mendengar alunan merdu suara sang kakak, tampak kembali mobil kemarin yang memberikan satu lembar uang 100 ribu kepada kakakku. Mobil itu menurunkan kaca mobilnya, tampak seorang anak yang seumuran denganku tengah terbatuk-batuk keras dan berbicara kepda ibunya yang ada di kursi depan.
"Mi, kasihan mereka ya, bisa ngak Mami kasih mereka uang banyak agar mereka bisa tidur nyenyak hari ini". Wajahnya memelas.
Dari saku ibu muda itu dikeluarkanlah dua lembar uang 100 ribu, satu untukku dan satu lagi untuk Kak Devan. Aku berterimakasih banyak kepada dua orang yang kusebut malaikat kecil penyelamat hidupku itu.
Mobil mereka melaju saat lampu berwarna hijau dinyalakan, aku melambaikan tangan.
Keesokan harinya mobil hitam berkilau itu muncul kembali, sama sepertinya anak mereka memelas kepada Ibunya untuk memberikan kami uang yang banyak lagi, dan Ibu itu memberikan lebaran itu dengan wajah tulus, aku berterimakasih.
Sejak saat itu aku merasa bahagia karena setiap hari aku didatangi dua orang malaikat kecil penyelamat hidupku. Kini uangku dan kak Devan terkumpul sudah satu juta rupiah, ahh cukup untuk sekolahku dan hidupku yang akan kutuangkan di sebuah kontrakan murah, aku hampir terbebas dari perbudakan. Teriakku dalam hati.
Semua impianku itu hampir brada tepat di depan mata, saat seorang dokter yang sudah menikah ingin mengadopsiku. Disebutkan oleh calon ayah angkatku bahwa mereka telah lama menikah dan Tuhan belum menitipkan anak untuk mereka.
"Paman, jika paman tidak dianugrahi Tuhan untuk punya anak, berarti Tuhan ngak adil kan Paman?". Ucapku polos.
"Tuhan itu adil sayang, Tuhan punya rencana indah buat kita".
"Apa buktinya Paman?"
"Buktinya ini, Tuhan mempertemukan kita, Paman disuruh Tuhan buat jhemput kamu agar hidup kamu bisa lebih baik dari ini". Paman itu mengelus rambutku.
"Bagaimana dengan Kakakku sendiri? Dia kan hidup sama sepertiku dijalanan apa Tuhan punya rencana juga untuk dia?"
"Tentu saja sayang, kamu harus yakin itu". Dengan sabar pria yang masih berkepala tiga itu menjelaskannya padaku.
Akhirnya aku mengikuti orangtua angkatku dan aku berpamitan dengan penuh air mata. Berat rasanya jika aku harus berpisah dengan saudara kandungku yang sudah menjagaku, menyayangiku sedari aku kecil.
"Kak, maafin aku ya, tapi kakak tenang aja, aku bakal liatin kakak tiap hari, nanti aku bakal beliin kakak makanan kesukaan kakak tiap hari jadi kakak bisa makan enak". Ucapku sambil menahan tangis.
Waktu sudah berlalu lama, janjiku pada kakak untuk selalu mengunjunginya setiap hari terpenuhi selalu. Saat ini aku duduk di kelas satu SMP, pendidikan yang aku impikan terpenuhi juga, kedua orangtuaku sangat menyayangiku sepenuh hati, membuat ku betah berada disana.Tapi ada satu hal yang tidak aku inginkan, Papa angkatku mendapatkan tugas diluar negri dan dengan otomatis aku dan Mama angkatku ikut juga, dengan berjuta keterpaksaan aku harus mengikutinya.
Aku sudah berada diluar negri, tepatnya di Australia, memang sangat jauh dengan Indonesia, selama disana aku selalu memikirkan keadaan kak Revan, apakah hidupnya saat ini masih menjadi gelandangan atau sudah menjadi 'Seseorang".
Di sini, setelah lama aku berjuang di negri orang, akhirnya aku bertemu dengan seseorang berkebangsaan Indonesia, yang wajahnya tidak asing bagiku. Dia adalah malaikat kecilku dulu yang selalu merengek pada ibunya untuk memberi aku rezeki. Ahh pertemuan tidak terduga. Aku tertawa kecil.
Setelah berkenalan aku mengetahui namanya Putra, kami menjalin pertemana yang lumayan erat. Aku bertanya tentang ehadiran kakakku sebelum dia pindah kesini.
"Putra, kapan kamu terakhir ngeliat kakak aku?".
"Hmm rasanya enam hari setelah kamu pergi keluar negri, aku juga sempat nanyain kamu ke dia, dia bilang kamu di adopsi, aku senang dengarnya, akhirnya kamu mendapatkan hidup yang layak dan ternyata kamu di adopsi sama teman Mama aku". Putra melempar senyum.
"Sejak saat itu kamu udah ngak pernah ngeliat dia?".
"Enggak Nia, dia kayak udah ngilang gitu aja".
Mataku berair, setetes air mata berjalan menelusuri kelopak mataku, menuruni pipiku dan akhirnya jatuh ke tanah.
"Tania, sabar ya, aku berharap kamu bisa dipertemukan lagi dengan kakak kamu".
Aku tersenyum tenang mendengar kalimat penyemangat dari Putra.
Sekian lama kami berteman, sekian lama waktu berputar. Tidak terasa aku sudah bekerja, dan pertemananku dengan Putra membawa kami ke sebuah hubungan pacaran dan kami akhirnya menikah. Setelah menikah kami pinah ke Indonesia.
Terus mencari dan mencari, Kak Revan belum juga kutemukan, aku takut dia sudah tiada lagi. Begitu sedih hatiku. Untuk menghibur diriku, Putra mengajakku ke studio rekaman milik orang tua suamiku sendiri. Dari kejauhan alunan suara musik yang diputar melalui komputer atau laptop mungkin yang terdengar sayup-sayup jelas. Aku mendekati arah suara itu ternyata kulihat seseorang sedang menghidupkan musik yang mungkin dimaksudkan agar dia tertidur.
Aku menelusuri ruangan lain, kini aku mendekati ruang rekaman, kata Putra hari ini ada jadwal penyanyi baru yang rekaman. Karena penasaran aku langsung menarik tangan Putra.
Aku hanya bisa mengintip dari luar saja, dari celah pintu yang kecil. Mama Putra melihat kami berdua dan mempersilahkan kami masuk. Di dalam aku melihat penyanyi itu sedang menyanyi dengan pemahaman gitarnya. Aku tidak bisa melihat wajhanya karena punggungnya menghadap ke aku.
Setelah penyanyi baru itu selesai mengalunkan suara merdunya itu, aku bertepuk tangan. Tampak dia mulai keluar, wajahnya masih belum terlihat, dan pada detik berikunya aku melihat wajahnya. Wajahnya sangat tampan, matanya indah, tubuhnya tinggi tegap. Wajah itupun tidaklah asing. aku menghampiri penyanyi itu untuk meyakinkan pandanganku. Dari arah belakang aku langsung memeluk tubuhnya, membuat seisi studio terkejut.
"Tania, apa yang kamu lakukan?". Nada Putra marah.
"Putra, kamu tahu ini siapa?". Air mataku menitik.
"Dia penyanyi baru, apa kamu mengidolakannya?".
"Mengidolakannya? Sungguh bodoh, dia belum terkenal tapi aku malah mengidolakannya". Aku masih memeluk tubuhnya.
"Lalu siapa? Lepaskan pelukanmu nak". Sergah Mama Putra.
"Aku ngak mau lepasin Ma, orang ini sangat berarti bagiku. Dia adalah orang yang selama ini memberiku arti kehidupan, dia yang merawatku saat aku sakit". Tangan pria itu melepas pelukanku.
Pria itu berbalik arah, menatap wajahku dalam-dalam. Kini aku berada dipelukan hangatnya, ya pria itu adalah Kak Revan yang selama ini aku rindukan.
"Kak, maafin aku ya, udah lama aku ngak ngeliat kakak, aku bukan adek yang baik kak".
"Ngak apa-apa kok dek, kakak juga di adopsi sama keluarga yang baik banget sama kakak". Terasa air mata Kak Revan jatuh di pundakku.
"Aku bahagia dengarnya kak, aku senang akhirnya kita bertemu lagi kak".
"Ya dek, bener kan apa kata kakak dulu kalau Tuhan itu punya rencana indah buat kita".
"Ya kak, aku udah paham maksud kalimat itu".
Aku tersenyum bahagia, masih dalam pelukan kakak, ku merasakan kebersamaan kami yang lengkap sudah.
With Love
Nurhayatii Zaiinal ♥